SPMB 2025: Antara Harapan Reformasi dan Realita Kesenjangan di Lapangan
Jatimnews.info || Blitar - Musim penerimaan siswa baru tahun ajaran 2025/2026 kembali menyisakan keresahan. Di atas kertas, sistem baru bernama SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru) ini terlihat rapi dan penuh semangat reformasi.
Tapi di lapangan, luka lama yang tak kunjung sembuh justru kembali menganga: siswa berprestasi yang tersingkir, anak dari keluarga miskin yang terabaikan, jalur prestasi yang disalahgunakan, hingga "penitipan" yang berbungkus legalitas.
Payung Hukum Terbaru: Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025*
SPMB kini bernaung di bawah Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025, menggantikan Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB. Sistem ini membagi jalur penerimaan siswa menjadi empat:
1. Jalur Domisili – berdasarkan tempat tinggal terdekat sekolah
2. Jalur Afirmasi – untuk siswa dari keluarga tidak mampu dan penyandang disabilitas
3. Jalur Prestasi – akademik dan non-akademik
4. Jalur Mutasi – untuk anak dari orang tua yang pindah tugas atau anak guru
Setiap jalur memiliki kuota minimum:
SMA: Domisili ≥ 30%, Afirmasi ≥ 30%, Prestasi ≥ 30%, Mutasi ≤ 5%
SMP dan SD memiliki kuota serupa dengan persentase menyesuaikan kebutuhan daerah
Realita Lapangan: Siswa Berprestasi Justru Tak Diterima*
Salah satu cerita menyayat datang dari Blitar, tepatnya di wilayah Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Wilayah Blitar, yang menaungi sejumlah SMA Negeri unggulan dari narasi yang beredar sungguh miris, siswa yang berprestasi dalam bidang olahraga karena minimnya literasi dari panitia pelaksana seleksi, tidak bisa diterima.
Meskipun dari pihak lembaga pendidikan sudah mengklarifikasi, tapi hal tersebut menjadi catatan buruk dalam proses penerimaan siswa baru.
Dari berbagai catatan, ada seorang siswa lulusan SMP dengan nilai rapor sempurna dan juara, gagal masuk ke sekolah impiannya. Bukan karena tak punya prestasi. Tapi karena kuota jalur prestasi yang dibuka hanya 10 kursi, sudah dipenuhi sejak jam pertama pendaftaran.
Mirisnya, ia juga bukan termasuk warga tidak mampu secara administratif, karena keluarganya tak memiliki KIP (Kartu Indonesia Pintar). Padahal secara ekonomi, orang tuanya hanya penjual angkringan dengan penghasilan pas-pasan.
"Saya bingung. Anak saya prestasinya bagus, tapi tidak bisa masuk. Di jalur domisili kalah jauh, di jalur prestasi penuh duluan," ujar sang ibu, sembari menahan air mata.
Budaya Titipan yang Tak Pernah Mati
Meski pemerintah telah menyederhanakan sistem dan membuka kanal pengawasan daring, praktik titip-menitip tetap menjadi luka tersembunyi dalam sistem pendidikan kita. Di Blitar, muncul desas-desus bahwa kursi prestasi dan mutasi sudah “dipesan” oleh oknum tertentu jauh sebelum sistem dibuka.
Ada wali murid yang mengaku ditawari ‘jalur aman’ dengan membayar sejumlah dana ke oknum perantara. Meskipun hal ini sulit dibuktikan secara hukum, sinyal penyalahgunaan sistem SPMB ini bukan isapan jempol.
“Jalur prestasi itu kadang hanya kedok. Yang masuk bukan cuma siswa berprestasi, tapi juga anak pejabat dan kerabat dalam,” ujar seorang guru yang enggan disebut namanya.
Sekolah Swasta Senyum Lebar di Tengah Kegelisahan
Ketika siswa tak bisa menembus sekolah negeri karena kalah domisili atau gagal di jalur prestasi, pilihan paling realistis adalah sekolah swasta.
Ini yang membuat banyak pihak menuding sistem SPMB secara tidak langsung menguntungkan sekolah swasta, terutama yang berada di kota-kota besar seperti Blitar, Kediri, dan beberapa kota lainnya.
Lonjakan pendaftaran ke sekolah swasta meningkat drastis pasca pengumuman hasil SPMB tahap pertama. Bahkan, beberapa sekolah swasta elit membuka program “beasiswa khusus siswa gagal negeri” dengan tetap memungut biaya tambahan.
Seragam dan Pungli: Biaya Siluman Masih Menghantui
Meskipun Permendikdasmen menegaskan larangan pungutan liar (pungli) dalam proses penerimaan, praktik di lapangan berkata lain. Orang tua di beberapa SMA Negeri di Blitar mengeluhkan mahalnya biaya seragam yang dijual dengan dalih sudah ada kerjasama, serta mengatasnamakan ”kesepakatan ”. Bahkan ada satu paket seragam bisa mencapai Rp 2,1 juta untuk 4 jenis pakaian.
Tak hanya itu, ada juga pungutan berkedok sumbangan pembangunan sekolah atau iuran kegiatan, yang sifatnya “sukarela tapi wajib”. Ini menjadi beban ganda bagi orang tua, terutama yang sudah harus membayar uang pangkal di sekolah swasta karena anaknya tidak diterima di negeri.
Refleksi: Sistem Pendidikan yang Butuh Rasa, Bukan Hanya Regulasi
Pendidikan seharusnya menjadi hak semua anak bangsa. Tapi hari ini, sistem seolah menjadikannya barang eksklusif yang hanya bisa diakses mereka yang tinggal dekat sekolah, punya uang, atau punya jalur khusus.
Pemerintah perlu membuka mata dan telinga lebih lebar. Evaluasi sistem SPMB secara menyeluruh adalah hal mendesak, terutama pada aspek keadilan akses, transparansi, dan pengawasan implementasi di daerah. Kuota prestasi dan afirmasi perlu diperluas. Budaya titipan harus diberantas dengan sistem pelaporan terbuka.
Kami menilai, SPMB bukan hanya soal masuk sekolah. Ini soal masa depan anak-anak bangsa. Jangan biarkan sistem yang katanya berpihak pada keadilan, justru menjadi alat pemisah antara si kaya dan si miskin, antara yang berprestasi dan yang kalah kuota.
Jika negara tidak hadir dalam pendidikan, maka hanya mereka yang kuat secara finansial dan sosial-lah yang akan menang. Dan sisanya?, akan terus terpinggirkan
dalam sistem yang katanya sudah "disempurnakan."
Jurnalis: Joko Prasetyo, reporter salah satu media online dan pemerhati kebijakan.
Editor: Harijono
Posting Komentar